Rabu, 13 Desember 2017

Menulis adalah Jiwa

Mendengar kata menulis bagi sebagian orang bisa jadi merupakan hal yang paling menyulitkan. Pendapat tersebut memang tidak ada yang salah, karena dalam menulis memang butuh keterampilan dan pengetahuan yang menunjang. Keterampilan dan pengetahuan tersebut minimal adalah tata bahasa. Namun hal tersebut tidak akan jadi hal yang sangat berarti ketika mau belajar. Bukankah banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa dipetik dari sebuah pembelajaran.

Menulislah, selama masih bisa menghirup sejuknya hawa pagi, merasakan dingin dan segarnya udara pegunungan, selama masih bernafas dan bisa bergerak. Menulis merupakan alunan setiap jiwa yang hidup. Betapa banyak manusia dari berbagai jaman dan generasi sejak Adam tercipta hingga kini, peradaban manusia terlahir dari menulis. Menulis merupakan ruh hidup, sehingga anak bawah tiga tahun pun mampu menulis, menurut bahasa dan pikiran mereka. Betapa tidak, begitu sering dilihat dari rentang kehidupan semua orang pernah dan bisa menulis. Berarti menulis merupakan hidup, kehidupan, dan ungkapan jiwa. Apapun yang ditorehkan tinta, kalam, simbol, kata itu adalah menulis. Jadi, menulis adalah sebuah keniscayaan karena kita hidup.


Lembaran-lembaran kertas siswa taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi pasti tak luput dari tulisan. Ada curahan hati yang berbentuk narasi bahkan berbentuk sajak, kemarahan, kerinduan, bahkan makian dan celaan terlihat sering ditemukan dan terbaca. Kegiatan menulis ternyata mampu menjadi media emosi, jembatan luapan jiwa, dan ruang lintasan pikiran. Semua merupakan cakrawala hidup. Kehidupan yang bisa ditorehkan kapanpun oleh simbol-simbol kebahasaan dalam sebuah rangkai tulisan. Menulis adalah melestarikan hidup dan hidup berisi jiwa.