Mendengar kata
menulis bagi sebagian orang bisa jadi merupakan hal yang paling menyulitkan.
Pendapat tersebut memang tidak ada yang salah, karena dalam menulis memang
butuh keterampilan dan pengetahuan yang menunjang. Keterampilan dan pengetahuan
tersebut minimal adalah tata bahasa. Namun hal tersebut tidak akan jadi hal
yang sangat berarti ketika mau belajar. Bukankah banyak pengalaman dan
pengetahuan yang bisa dipetik dari sebuah pembelajaran.
Menulislah,
selama masih bisa menghirup sejuknya hawa pagi, merasakan dingin dan segarnya
udara pegunungan, selama masih bernafas dan bisa bergerak. Menulis merupakan
alunan setiap jiwa yang hidup. Betapa banyak manusia dari berbagai jaman dan
generasi sejak Adam tercipta hingga kini, peradaban manusia terlahir dari
menulis. Menulis merupakan ruh hidup, sehingga anak bawah tiga tahun pun mampu
menulis, menurut bahasa dan pikiran mereka. Betapa tidak, begitu sering dilihat
dari rentang kehidupan semua orang pernah dan bisa menulis. Berarti menulis
merupakan hidup, kehidupan, dan ungkapan jiwa. Apapun yang ditorehkan tinta,
kalam, simbol, kata itu adalah menulis. Jadi, menulis adalah sebuah keniscayaan
karena kita hidup.
Lembaran-lembaran
kertas siswa taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi pasti tak luput dari
tulisan. Ada curahan hati yang berbentuk narasi bahkan berbentuk sajak,
kemarahan, kerinduan, bahkan makian dan celaan terlihat sering ditemukan dan
terbaca. Kegiatan menulis ternyata mampu menjadi media emosi, jembatan luapan
jiwa, dan ruang lintasan pikiran. Semua merupakan cakrawala hidup. Kehidupan
yang bisa ditorehkan kapanpun oleh simbol-simbol kebahasaan dalam sebuah
rangkai tulisan. Menulis adalah melestarikan hidup dan hidup berisi jiwa.