Satu dua satu dua,
langkahnya kecil-kecil namun cepat, sampai kaki ini pun tak pernah bisa
melampauinya.
“Ini makanan anak-anak, ini makanan mentah-mentah, naaach… ini susu”,
ungkapnya riang, sambil menunjuk rak yang berderet rapi susu uht berbagai merk
nan warna warni
“Aku bawa segini aja”, ia pun membawa satu kotak kecil
“Kok cuma satu yangm buat rifki mana..?”, tanyaku menguji.
“Ya, udah dua…”, sambil mencoba menghitung dengan jari tak
berdosanya.
“Kok gak pilih yg besar…?” tanyaku mulai cerewet khas ibu-ibu.
“Udah ini aja…..,” tukasnya.
“Ambil yang lain atuh…,” mulai dech ni perintah ibu-ibu.
“Ni.. yg biru…,” serunya sambil memperlihatkan gigi susunya yang
rapi bersih berbaris tanpa cacat dan celah.
Akhirnya terkumpul
susu uht anak-anak berbagai rasa dalam kemasan kecil dan sedang.
“Makanannya mau tambah lagi nggak..?,” cerewet ibu-ibu mulai
diperdengarkan lagi dengan beban memaksa.
“Udah… ,” memelas ia menjawab.
“Buat yang lain mana…?,” tanyaku mulai lagi ibarat polisi India
yang ada di film-film tv swasta tanah air.
“Ini udah, buat aa, kakak, rifki….,” satu-satu ia singkapkan
makanan yang yang sudah ia pilih dan ia masukkan sendiri ke keranjang merah
yang ku tenteng.
“Ambil bungkusan gede Yang…,” keluar pula akirnya panggilan
sayangku padanya, kali ini gaya memaksaku sudah pada tingkat internasional. Akhirnya
ia pun sibuk memilih kembali makanan ringan dengan bungkus sedang.
“Waaah… jd banyak nich makannya…,” demi melihat isi keranjang saat
itu.
“Gak apa-apa, kan buat dibagi….,” ungkapku dengan nada sok
menenangkan.
Tak ada permintaan
lagi dari mulut mungilnya. Akhirnya ia pun meluncurkan kata-kata pamungkas, “udach
ah…., “ sambil mengarahkan langkahnya ke tempat kasir
“Ech, iya, Yayang kan suka coklat, gak ada coklat yg diambil Yang…?,”
Akhirnya ia pun memilih beberapa coklat yang ia mau. Ada bungkus
kecil, bungkus sedang, dan besar.
“Yang, ini kan udah ada.” Unjukku ke salah satu kemasan coklat.
“E.. ini kan beda inikan T-P…”, tukasnya cerdas menyentak pikiran
kiniku. Ooww… aku baru tersadar kalau mungilku sudah besar dan sudah bisa
membaca walau usianya belum mencapai usia sekolah dasar.
“Hmm… kira-kira hal apa yang menarik yang bisa diajarkan ya…,”
pikirku. Harus ada nilai yang harus ku tularkan padanya, demi detik yang membersamaiku dengannya saat ini, demi jiwaku
yang setiap saat mengayun-ayun romannya, demi sebagian darahku yang mengalir di
nadinya, dan demi hati, rasa, asa, dan esok hari yang hanya penuh dengan harap
dan doa. Yup… tring… akhirnya ku dapat ide mendadak…
“Yang… yuk kita cari logo halal MUI-nya yuukk….”
Mungilku antusias, aku tunjukkan satu kemasan makanan ringan dengan
logo halal MUI. Baru satu, dia langsung mengambil makanan lain yang ada di
keranjang belanjaan. Dengan cekatan dan tepat dia langsung tunjukkan logo halal
MUI di tiap kemasan. Dia nampak senang… karena logo halal memang harus jeli
mencarinya, ia tak tersembunyi, namun tak tampak terlihat jelas, kadang di
bawah kemasan, kadang di sudut kemasan, kadang juga keliru dengan tanda
produksi lain dengan tanda lingkaran. Mulailah ku ambil inisiatif menjelaskan
fungsi dari logo tersebut, ajiib.. dia langsung paham…
”jadi, ni yang ada di keranjang semua boleh dimakan ya…?”
pertanyaan pertama untuk hari ini yang terlontar.
“Betul…”, timpaku, “karena apa..?” kali ini menguji.
“karena ada logo halalnya…”, jawabnya tangkas tanpa jeda.
Perjalanan menuju
kasir pun tersendat. Seperti menemukan mainan baru is pun menyisir beberapa
makanan dan minuman yang terpajang di rak pajangan di swalayan kecil tersebut. Dilihat
satu persatu, bila dapat ia akan berkata, “nach… ini boleh…”. Begitu selanjutnya
sampai ia mendapatkan minuman energi laki-laki yang tak terdapat logo halal MUI
di bagian luar kemasannya. “Yang ini gak ada…”. Sambil terus membolak-balik bungkus
kemasan itu berkali-kali untuk meyakinkan.
“Ya.. udah kalo gak ada…, berarti….” Kalimatku digantung sengaja
dengan harapan ada jawaban cemerlang. Betul saja….. ”Gak boleh…” jawaban yang
langsung menyambar.
Asyiknya pada saat
itu harus terputus, tak terasa menit demikian terlalu cepat berlalu
meninggalkan kami, aku dan mungilku. Suara berat di belakangku menyadarkanku
untuk dapat mengatasi keadaan pasarah untuk beberapa menit kemudian.
“Yuk.. udah yuk…”. Kalimat pertama hari itu keluar dari saura bearat,
seakan memampangkan dan menabuh serta
membunyikan alarm kesadarnku. Langkahku pun ke kasir, tak ada yang mampu
menanhan episode saat itu, semua harus berjalan seperti biasa, tak ada apa-apa,
dan kan biasa kembali.
Isi keranjang pun
berpindah tempat ke sebuah tas palstik putih. Melalui layar monitor terpampang
harga setiap kemasan yang dipindai dari alat yang pintar mampu membaca kode
batang.
“Ini boleh…..” pandanganku pun berlaih pula ke tangan mungil yang
memegang sebatang coklat yang teronggok di meja kasir.
“O.. iyaa…,” perhatianku pun beralih dan tak peduli dengan nominal
yang kan ku tukar dengan barang konsumsi yang ada di keranajng merah tadi.
Sebuah kemasan yang nampaknya selai strawberry dekat dengan monitor
kasir tak luput dari perhatiannya. Setengah kepala mungil itu pun mendongak
demi melihat yang tak nampak di atasnya logo halal MUI, sambil berujar “nach…
ini gak boleh…”. Ungkapan singkatannya mengagetkan penghitung belanjaan kami.
“Ada apa gak boleh…?”. Dua bola beningnya menatapku, meminta tolong
menjlaskan pada orang dewasa berseragam itu.
“Ini… selai strawberrynya tak ada logo halal MUI jadi tidak bisa
dikonsumsi bila tidak yakin halal…”. Penjaga kasir pun anmpaknya puas dengan
jawaban tersebut, tampak bibirnya tersenyum wlau tatap matanya tak beralih dari
layar monitor dan keyboard. Mungilku pun tersenyyum… dan nampaknya ia pun puas
dengan bantuan jawaban tadi.
Detik-detik kemudian
setelah itu terasa berat. Tas plastik putih itu berlaih tangan. Isi tas plastik
yang penuuh dengan kecintaan, kerinduaan, dan kalau boleh diungkapkan, kepiluan….
Alun-alun di sore
itu, hiruk pikuknya tak tampak lagi, semua seperti menguning, bak kaos kuning
yang ia kenakan. Alun-alun sore itu, selepas asar, memang mendung, awan memang
telah menyambut akhir hari sejak kami masuk swlayan kecil ini. Doa, pelukan,
dan ciuman, merupakan bekal akhir dari semua bekal yang ada setelah isi tas
plastik itu. Ubun-ubunya menjadi pendaratan terakir semua harapan, doa , dan
cinta. Nampak tergeret, tergusur, terpaksa, dan kaku, beriring kepala mungil yang
masih menoleh ke belakang, meninggalkanku, membiarkan membuka kunci kontak beatku.
Ku berpaling, ku biarkan, ku pasrah, sebelum semua basah, basah karena butiran
hujan pun saat itu sama berjanji untuk menggauli alun-alun. Di depan sebuah
mini swalayan, ku bairkan piluku ke awan, bersama hujan yang menetes deras mengikuti
irama lirih sengguk dada dan lelehan air mata. Singaparna, di sebuah alun-alun,
ketika hujan turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar