Jumat, 18 Oktober 2019

Bandung dalam Belasan Tahun


Menyusuri Bandung merupakan sebuah kesenangan yang tak terkira. Bagai kanak-kanak yang menemukan mainannya, akan betah dan sulit beranjak. Berada di sini, kilauan lampu taman yang sengaja di gantung di sebuah kedai makanan siap saji mengundang romansa tersendiri. Di seberang jalan, tampak bangunan milik UNISBA berdiri kokoh, ternyata sekarang ia memiliki fakultas kedokteran. Anak muda lalu lalang memesan, memilih, dan membayar jenis kudapan yang tersedia. Lantai 1 bangunan itu dilengkapi dengan kursi dan meja minimalis, unik, modern. Para pengunjung berteletekan di sana. Bincang kecil dan hangat tampak jadi suara indah penutup senja kala itu. Di sudut lain, tempat ini begitu nyaman bagi mereka yang sedang berpikir serius. Ada tablet di sana, ditemani dengan komputer jinjing dan peralatan tulis menulis di atas meja. Tak tertinggal tumpukkan buku turut mewarnai pula.

Senja telah menyembunyikan selendang jingganya ketika beranjak dari sana. Malam merupakan sebuah pemandangan yang memiliki kesan tersendiri. Walau tak akan tampak jelas panorama pinggir jalan di balik jendela angkot, namun temaram malam selalu menyisakan kesan yang dalam. Tujuan ke arah utara dengan angkutan kota, di depan sebuah pusat perbelanjaan yang hanya selemparan batu dari komplek ITB. Hiruk pikuk kala itu mewarnai malam Jumat yang bisa jadi tak lagi mistik bagi mereka yang masih di jalanan. Angkutan penuh dengan celoteh anak muda. Mahasiswa dan mahasiswi ITB rupanya. Berceletoh tentang teman, dosen, mata kuliah, tugas, hingga perpustakaan.

Ooo... Sekelebat ternyata pintu gerbang ITBpun telah berubah. Lebih modern, terbuka, lampu-lampu berjajar mengawal koridornya. Tampaklah perpustakaan, yang masih buka saat waktu meninggalkan angka 19.00. Berjejer rak buku sebagai ciri perpustakaan itu berisi. Masih banyak yang setia duduk di sana dengan tertunduk  tepekur menatap atas meja. Nampak ada mushola di sebelahnya. Jelas terindera orang yang melakukan gerakan tangan diangkat, rukuk, dan sujud. Semua terlihat jelas dari jalanan tempat angkot memijakkan bannya. Hiruk pikuk sabuga tak terlewatkan.

Pelan angkot bergerak ke arah pertigaan Jati. Di arah jalan ke Ciumbuleuit, tampak megah sebuah bangunan yang benderang penuh cahaya. Hanya decak, entah kagum atau tak habis pikir. Pikiran seorang rakyat jelata yang melihat keangkuhan bertahta keuntungan di atas beberapa prediksi kerawanan. Tak penting dilanjutkan pikiran itu. Lebih asik menyimak betapa angkot terpepat di antara kendaraan lain yang memadati jalan Sederhana. Sebuah jalan kecil yang penuh pohon rimbun di sisi kanan kiri jalannya. Rute yang akan mengantarkan penumpang menuju jalan Setiabudhi. Sesetia ribuan kenangan yang enggan enyah dari ingatan. Ruas yang mampu mengumpulkan banyak energi, cita-cita, dan harapan bahkan cinta.

Panorama, tempat angkot dihentikan. Sepanjang Gegerkalong Girang dari ujung Panorama sampai jalan Pak Gatot Raya denyut nadi kehidupan di sisi waktu berdetak cepat. Seperti tak ada sejengkal tanahpun yang luput dari kedai, kios, toko, bahkan mini market. Ditambah kendaraan beroda mesin membuat hingar bingar jalan semakin terasa tak pernah sepi. Nikmatnya sehat dirasakan di sini. Setelah belasan tahun ditinggalkan, jejak masa lalu rak luput membuntuti. Bandung kini, tampak molek dengan limpahan cahaya. Berdandan cantik hingga banyak sudut-sudut yang sulit dikenali. Hanya satu yang bisa jadi patokan masjid Daarut Tauhid. Menatap masjid dari kejauhan, seakan menyaksikan kembali drama hidup yang sulit dilupakan.



#38dwcjilid20day2
@30pejuangdwc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar