Ia bersama sang suami
Kamis pekan lalu, sore hari
yang tampak mendung, memacu diri bersama ojeg daring kearah utara Bandung. Ada janji
dengan seorang teman dekat untuk membahas beberapa program dan acara yang
dilalui pada bulan November. Tiba di sebuah kedai makanan siap saji, disuguhi
dengan kerlip lampu taman yang menggelantung di atas tempat duduk yang di tata
rapi. Suasana sejuk sore itu bertambah syahdu dengan suara dedaunan yang saling
bersinggungan satu sama lain.
Tak berapa lama yang ditunggupun datang. Menyelinap dari belakang,
mendongakkan kepalanya, lalu tertangkap kamera saat akan swafoto untuk
membumbui masa menunggu. Mengenalnya merupakan suatu hal yang luar biasa. Bersahaja,
tak banyak bicara, low profile, cerdas, dan masih banyak sifat baik yang
didapat darinya. Tak pernah bisa marah saat seharusnya ia marah. Kemarahan ia
luapkan dengan intonasi bernada dan berirama. Tangguh, satu kata untuknya. Seorang
ibu yang tak pernah mengeluh padahal aktivitasnya begitu padat. Seorang dosen
dengan dua puteri dan satu putera yang masih berusia sekira 7 bulan. Aktivitas sebagai
istri, ibu, dosen, ketua umum sebuah OKP tingkat provinsi, aktivis beberapa
organisasi profesi, kepemudaan, dan kemasyarakatan, serta penulis puluhan buku
bergenre anak-anak, ia jalani dengan mengagumkan. Dari semua yang ia jalani
membuahkan beberapa penghargaan di tingkat provinsi dan nasional, bahkan
lingkungan tempat ia berkarya menjulukinya sebagai bidadari litbang.
Setelah
memilih tempat duduk yang apik, makanan dan minuman pun ia pesan. Tempat duduk
yang dipilih cukup apik, tidak di sudut, tidak di tengah pula, dan tidak
terganggu oleh lalu lalang para pengunjung. Meluncurlah rentetan
kalimat-kalimat dari lisannya setelah kertas putih ia keluarkan dari dalam tas
yang sedari tadi ia tenteng. Memetakan kemungkinan rencana, mengurai delegasi
tugas untuk para anggota pimpinan, hal teknis yang akan dilalui, sampai taktik
pencarian dana yang dibutuhkan. Larut dalam bincang hangat mengantarkan kami
pada masa berkumandang azan maghrib. Saat itu pula tersadar harus segera
beranjak untuk melanjutkan tugas di ranah yang lain. Tugas publik yang sedari
pagi dilakoni harus beralih ke ranah domestic untuk keluarga, suami, dan buah
hati. Tak terasa sayup azanpun mulai memudar, saat kami melangkah menuruni anak
tangga di luar pelataran kedai. Teriring salam yang terucap, tak putus kagum
pada sosok yang baru saja ditemui. Ibunda tangguh, begitu ia layak dijuluki.
#30dwcjilid
20day4
@30pejuangdwc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar