Senin, 21 Oktober 2019

Perempuan Tangguh



I
Ia bersama sang suami

Kamis pekan lalu, sore hari yang tampak mendung, memacu diri bersama ojeg daring kearah utara Bandung. Ada janji dengan seorang teman dekat untuk membahas beberapa program dan acara yang dilalui pada bulan November. Tiba di sebuah kedai makanan siap saji, disuguhi dengan kerlip lampu taman yang menggelantung di atas tempat duduk yang di tata rapi. Suasana sejuk sore itu bertambah syahdu dengan suara dedaunan yang saling bersinggungan satu sama lain.
Tak berapa lama yang ditunggupun datang. Menyelinap dari belakang, mendongakkan kepalanya, lalu tertangkap kamera saat akan swafoto untuk membumbui masa menunggu. Mengenalnya merupakan suatu hal yang luar biasa. Bersahaja, tak banyak bicara, low profile, cerdas, dan masih banyak sifat baik yang didapat darinya. Tak pernah bisa marah saat seharusnya ia marah. Kemarahan ia luapkan dengan intonasi bernada dan berirama. Tangguh, satu kata untuknya. Seorang ibu yang tak pernah mengeluh padahal aktivitasnya begitu padat. Seorang dosen dengan dua puteri dan satu putera yang masih berusia sekira 7 bulan. Aktivitas sebagai istri, ibu, dosen, ketua umum sebuah OKP tingkat provinsi, aktivis beberapa organisasi profesi, kepemudaan, dan kemasyarakatan, serta penulis puluhan buku bergenre anak-anak, ia jalani dengan mengagumkan. Dari semua yang ia jalani membuahkan beberapa penghargaan di tingkat provinsi dan nasional, bahkan lingkungan tempat ia berkarya menjulukinya sebagai bidadari litbang.
Setelah memilih tempat duduk yang apik, makanan dan minuman pun ia pesan. Tempat duduk yang dipilih cukup apik, tidak di sudut, tidak di tengah pula, dan tidak terganggu oleh lalu lalang para pengunjung. Meluncurlah rentetan kalimat-kalimat dari lisannya setelah kertas putih ia keluarkan dari dalam tas yang sedari tadi ia tenteng. Memetakan kemungkinan rencana, mengurai delegasi tugas untuk para anggota pimpinan, hal teknis yang akan dilalui, sampai taktik pencarian dana yang dibutuhkan. Larut dalam bincang hangat mengantarkan kami pada masa berkumandang azan maghrib. Saat itu pula tersadar harus segera beranjak untuk melanjutkan tugas di ranah yang lain. Tugas publik yang sedari pagi dilakoni harus beralih ke ranah domestic untuk keluarga, suami, dan buah hati. Tak terasa sayup azanpun mulai memudar, saat kami melangkah menuruni anak tangga di luar pelataran kedai. Teriring salam yang terucap, tak putus kagum pada sosok yang baru saja ditemui. Ibunda tangguh, begitu ia layak dijuluki.

#30dwcjilid 20day4
@30pejuangdwc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar