Sabtu, 02 November 2019

Sabna Varascara


Malam mulai terus menanjak. Masih terdengar rintik air menetes dari susunan genting rumah. Suaranya membuat syahdu, melarutkan setiap jiwa yang terlelap karena lelah sepanjang hari. Angin dinginpun turut menemani gerimis ini. Lembut pori-pori ini mengatup, mengusir gigil yang mulai menusuk. Sunyi malam ini. Ku stel televisi yang tadi kaku membisu. Dinyalakan, sebagai teman tanpa tanggapan mengiringi jari jemari ini di atas papan ketik.

Beberapa tugas harus diselesaikan. Data satu provinsi memang belum lengkap, namun bukan berarti hanya bisa berdiam diri. Laporan harus sudah selesai sebelum fajar Senin muncul di ufuk timur. Semua dokumen yang terdiri dari empat bagian harus terunggah sempurna sebelum perhelatan nasional pekan depan digelar. 

Rasa bingung mulai menyergap ketika penanggung jawab data tak  jua membalas pesan yang telah dikirim sejak sore tadi. Terlihat whatsappnya beberapa kali ada dalam jaringan. Namun pesan itu belum terbalas hingga kini. Akhirnya dialihkanlah benak untuk mengerjakan sesuatu yang lain. Kegiatan yang satu bulan ini harus berkesinambungan diselesaikan dengan berteman tenggat waktu.

Mengikuti program ini ternyata punya keasikan tersendiri. Selain tenggat waktu penyerahan tugas, ia memiliki program umpan balik yang tertata apik baik dari anggota peserta program juga dari mentor sekaligus. Program ini memberikan nuansa baru pada pengalaman menulis. Isinya mayoritas anak muda yang bersemangat dalam mengolah pena. Catatan khusus dari program ini adalah pemimpin kelompok kecil yang memimpin perjalanan program agar selalu mulus. Guardian ia dinamakan, dan kelompok kecilnya diberi istilah squad. 

Guardian inilah yang selalu memberikan nuansa lain di 30 hari program ini. Jika bertatap muka dengannya bisa jadi pipinya habis dicubiti. Betapa tidak, ia selalu mengirim pesan pribadi hanya untuk  mengingatkan agar tidak lupa menulis sebelum tenggat waktu yang ditentukan tiba. Jika tidak, maka ia akan memberi semangat agar tekad semua anggota selalu membara. Kalau dibayangkan, bisa jadi ia pemandu sorak yang sangat aktif. Membangun semangat tim, memberi motivasi, mengingatkan tenggat waktu, dan sesekali menyapa manis. Dalam benak, ia tergambar lincah bergerak sambil membawa tutup panci di kedua tangannya lalu dipukulkan satu sama lain sambil berteriak,
“Ayoo Mak… Jangan kasih kendor…!!!”, xixixi… begitu mungkin ya…

Namanya Sabna Varascara, nama yang sedikit asing bagi mayoritas orang Indonesia, apalagi orang Sunda. Sayang, tak bisa menatap wajahnya karena foto profilnya berhalang kain penutup wajah. Usianya nampak masih hijau, namun pengalamannya sudah tak bisa dikatakan baru kemarin sore. Dari umpan balik yang diberikan seorang mentor, tulisannya sudah lebih dari standar. Berarti pengalaman menulisnya telah memiliki jam terbang tinggi. Inilah yang disebut tadi di atas bahwa pengalamannya bukan baru kemarin sore. Tampak di salah satu akun media sosialnya ia kini ada di Taiwan.Tak pernah bertanya, apa, mengapa, dan bagaimana ia sampai di tanah orang bermata sipit. Cukup tahu saja ia ada di sana, belum punya niat untuk menelusurinya lebih jauh. Saat ini cukup mengenalnya lewat pesan-pesan singkat di ruang obrolan whatsapp. Selebihnya, tinggal menunggu waktu akan menuntun sampai di mana.

Suatu saat jika Allah ijinkan, ingin sekali mengenalnya lebih dekat. Tidak hanya ia, tapi anggota squad yang saat ini membersamai kegiatan ini. Barakallah, Sabna, semoga usia dan usahamu berkah, Nak. Tak akan lupa namamu, selain unik, kau pun begitu konsisten memandu, menemani, memimpin kami di squad 1 30 days writing challenge ini. Terimakasih terucap seiring dingin malam dan rintik hujan menjelang tengah kelam menuju dini hari.


#30dwc
#30dwcjilid20day17
#30dwcjilid20squad1
#akarmenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar